Konflik Dalam Organisasi


ORASI ILMIAH PENGUKUHAN GURU BESAR - PROF. DANIEL CAROLUS KAMBEY, BA., MA., Ph.D.
STRATEGI UNTUK MERANGSANG KONFLIK

        Dari hasil eksperimen Elise Boulding (dalam Winardi, 1994: 79), didapati bahwa anggota kelompok menjadi mampu menganalisis problem secara lebih efisien dan lebih luas perspektifnya, bahkan mampu memecahkan masalahnya secara lebih baik, saat di kelompok itu ada stimulator konflik (orang yang sengaja disusupkan). 

Artinya, dalam sebuah organisasi, terkadang konflik harus sengaja dibangkitkan, dengan tujuan membuat kehidupan organisasi menjadi lebih dinamis, yang berujung pada kematangan organisasi. Untuk merangsang atau membangkitkan konflik, diperlukan strategi. 

      Wahyudi (2006:101), mengemukakan beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam bentuk Model Stimulasi Konflik, seperti : Meningkatkan persaingan dengan penawaran insentif, Menetapkan standar kinerja, Menimbulkan ketidakpastian dalam kelompok, Menyampaikan informasi yang bertentangan, Memilih pimpinan yang lebih demokratis, Melakukan pembagian tugas baru, Menyediakan penghargaan terhadap prestasi, dan Memotivasi karyawan. Sementara itu, Stoner dan Freeman (1992: 562) dalam buku ‘Manajemen’, mengemukakan beberapa metode untuk merangsang konflik dalam organisasi, yaitu : Minta bantuan orang luar, Menyimpang dari peraturan, Menata kembali organisasi, Mendorong persaingan, dan Memilih manajer yang tepat.

Dengan menciptakan konflik, bukan berarti meretakkan keutuhan organisasi. Konflik yang tercipta sangat bermanfaat untuk memupuk perubahan dan kreativitas dalam menjajaki peluang-peluang baru, meningkatkan komunikasi dan kinerja organisasi, serta menciptakan keseimbangan kekuatan dan pengaruh, melalui kerjasama dalam teknik-teknik pemecahan masalah. 

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN KONFLIK

    Untuk mengelola konflik secara tepat, membutuhkan pengenalan terhadap keuntungan dan kerugiannya. Martinez dan Fule (2000 : 281), menulis bahwa bila konflik dihilangkan, organisasi akan kehilangan manfaatnya, sebaliknya bila dibiarkan berkembang liar, konflik akan tidak terkendali dan merugikan organisasi. Konflik dapat mengakibatkan keuntungan, maupun kerugian. Karenanya, manajer perlu mengetahui keuntungan dan kerugian yang diakibatkan oleh konflik. 

       Beberapa keuntungan dapat dirumuskan seperti : konflik sebagai pengembang daya dan semangat kerja (menghasilkan  energi jika dihadapkan pada saingan), memiliki nilai diagnosis (merupakan alat deteksi dini, bagi masalah yang akan segera muncul), pemacu kreativitas (dalam pencarian solusi yang baru dan kreatif terhadap permasalahan yang dihadapi), memfokuskan pada tugas (konflik merangsang para pelaku bekerja lebih keras untuk menyelesaikan tugas yang sedang dilaksanakan), sebagai umpan balik (menyetel persepsi terhadap realitas), sebagai empowerment (pendorong kelompok yang tadinya tidak aktif menjadi lebih aktif menyodorkan ide untuk menyelesaikan masalah), sebagai katup pengaman (jika muncul konflik yang lebih intens), berfungsi sebagai pancing (untuk memancing wacana-wacana yang cemerlang dan penting bagi organisasi), sebagai alat pembelajaran (dalam menyampaikan pandangan dengan jelas), dan mendorong ke arah perubahan (katalis perubahan).

       Pickering (2000 : 3), meringkas beberapa manfaat konflik dalam organisasi sebagai berikut : Increased motivation, enchanced problem, group cohesiveness, reality adjustment, increased knowledge skill, enchanced cerativity, contribution to goal attainment, and incentive for growth. Begitu juga dengan Nelson dan Quick (1977 : 178) yang menyebut kosekwensi positif dari konflik antara lain : Leads to new ideas, stimulate creativity, motivate change, promote organizational vitality, helps individuals and groups establish identities, and serves as a safety values to indicate problems.

       Untuk kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh Konflik, diantaranya : menimbulkan ketegangan dan kecemasan (stress), mengabaikan penyebab utama, membuat orang yang bercekcok menjadi kaku dalam menyatakan pendapat, dan membuat kehilangan rasa harga diri. Ng (2003 : 50) mengemukakan daftar singkat dampak konflik, yang disebutnya negative outcome, sebagai berikut : people feel more distance, some people leaving, destruct and suspicion, cooperation diminishes, passive and active resistance to each other, blaming, generalizing, distorted communication, reduce job satisfaction, personal hurt, and loss of motivation. Pickering (2000 : 3) menyebut dampak buruk konflik yakni : decreased productivity, erotion of trust, coalition formation with polarized position, secrecy and reduced information flow, morale problems, consumption of mass amount of time, and decision making paralysis. Begitu pula Nelson dan Quick (1977 : 178) menyebut konsekwensi negatif konflik adalah : divert energy from work, threatens psychological well being, waster resource, creates a negative image, breaks down group cohesion, and can increase hostility and aggressive behavior. 


JENIS-JENIS KONFLIK

        Setelah keuntungan dan kerugian konflik diurai, sekarang dibedah jenis-jenis konflik. Agar konflik dapat dikelola dengan lebih berdayaguna, pimpinan organisasi seyogyanya harus dapat secara tepat membedakan jenis-jenis konflik. Terdapat berbagai jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsi, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dan sebagainya. Di sini, konflik ditinjau bedasarkan situasi pertentangan, posisi individu yang terlibat, sifat dan perilaku yang berkonflik, hubungan tujuan organisasi, serta konflik substantive dan emosional. 

Berikut tinjauan konflik 

Konflik dari Segi Situasi Pertentangan. 

Konflik sesuai dengan pihak yang terlibat ini, dapat dipilah menjadi tujuh bentuk, yaitu :

1. Conflict within the individual (intrapersonal conflict). Ini terjadi saat ketegangan meliputi seseorang karena tidak dapat mengambil keputusan (untuk memenuhi dua keinginan sekaligus), sehingga dia tidak dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh organisasi (role expectation). Pickering (2000:12) menyebut "gangguan emosi yang terjadi dalam diri seseorang karena dituntut menyelesaikan suatu pekerjaan atau memenuhi suatu harapan, sementara tata nilai tidak sanggup memenuhi sehingga menjadi beban. Selain itu, konflik dalam diri dapat terjadi bila pengalaman, minat, tujuan atau tata nilai pribadi bertentangan satu sama lain. 

2. Conflict among individuals (interpersonal conflict). Konflik ini muncul bila dua orang tidak mencapai kesepakatan tentang suatu persoalan, tindakan atau tujuan. Sering juga karena perbedaan persepsi, orientasi atau status. 

3. Conflict among individuals and groups (intra group conflict). Biasanya, dalam suatu kelompok, ada kriteria atau standar produktivitas. Jika seseorang tidak dapat memenuhi tekanan keseragaman yang dipaksakan kelompok kerja itu, maka terjadilah konflik. Dalam menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, dia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok. 

4. Conflict among groups in the same organization (intergroup conflict). Bentuknya ialah pertentangan kepentingan atau padangan dari setiap kelompok dalam organisasi. Misal : antar pegawai lini dan staf, antarkelompok karyawan manajemen atau antar sub-unit. Kalau tidak di-manage menghancurkan kolaborasi dan berujung disfungsional.

5. Conflict among organizations (interorganization conflict). Konflik ini muncul karena dipicu persaingan (hasil produksi, ekonomi dan negara : misal Amerika Versus Cina), antarperusahaan yang melaksanakan usaha bebas. Dampak positif dari persaingan ini adalah pengembangan produk (barang & jasa) baru, Teknologi dan service baru, harga yang lebih terjangkau dengan mutu yang makin meningkat dan pemanfaatan sumber daya (manusia & alam) yang lebih berdayaguna (efektif). Begitu juga dengan, sengketa organisasi buruh dengan pimpinan perusahaan, atau persaiangan antaroperator telephone seluler, seperti Telkomsel dan XL.

6. Conflict among individuals in different organizations (interpersonal conflict in different organization). Misalnya terjadi saat wartawan (Perusaahaan Penerbitan) yang memberitakan penyimpangan seorang pimpinan dari sebuah organisasi pemerintahan. Akhirnya, keduanya akan berkonflik.

Konflik antara kelompok organisasi yang berbeda (intergroup conflict in different organization). Umpamanya kelompok Dosen Fakultas Ekonomi UNSRAT bersaing dan bermasalah dengan Dosen Fakultas Ekonomi UNIMA. Jika konflik tidak terselesaikan akan berkembangan menjadi konflik antaruniversitas. 

Konflik dari Segi Posisi Individu yang Terlibat.
1. Konflik Horizontal, terjadi antar individu (atau kelompok, departemen) dalam organisasi yang posisi atau kedudukannya sederajat.
2. Konflik Vertical terjadi antara orang yang lebih tinggi kedudukannya (manajer) dengan orang yang kedudukannya lebih rendah (Pegawai biasa), juga sebaliknya.
Konflik dari Segi Sifat dan Perilaku yang Berkonflik. 

1. Konflik Terbuka, yaitu diketahui oleh semua pihak yang ada di dalam organisasi atau seluruh masyarakat. 

2. Konflik Tertutup, hanya diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat.
Konflik dari Segi Hubungannya dengan Tujuan Organisasi. 

1. Konflik Fungsional, apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi (dikelola dan dikendalikan dengan baik). Robbins (1996:430) menyatakan bahwa konflik yang fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok. 

2. Konflik Disfungsional, apabila dampaknya justru merugikan organisasi.

Batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.

Konflik Subtantif atau Konflik Emosional. 

1. Konflik Subtantif, lebih disebabkan ketidaksesuaian paham tentang beberapa hal, seperti : tujuan-tujuan, olahan sumberdaya, distribusi imbalan-imbalan, kebijakan-kebijakan, prosedur-prosedur dan penugasan. Sedangkan konflik-konflik emosional muncul akibat perasaan (emosional), seperti rasa marah, rasa tidak percaya, rasa tidak senang, rasa takut, rasa pertentangan dan bentrokan-bentrokan pribadi. 

2. Konflik Emosional, lebih menunjukkan pada ketidakmampuan untuk berfikir dan menganalisa permasalahan secara jernih, dimana sikap irasional yang dominan. (BERSAMBUNG)


0 Response to "Konflik Dalam Organisasi"

Post a Comment